‘IMPIAN’ menjadi motivasi terbesar, bisa kah? (2)

Selamat pagi, kawan.

Semoga sehat selalu dan semoga dimudahkan untuk berbahagia..

(Mengutip dari Ibu Lya Fahmi https://www.facebook.com/mufliha.fahmi)

Saya lanjutkan tulisan sebelumnya, ya..


Sejak saat itu, impian-impian lainnya mulai muncul. Banyak sekali. Dari yang ada kemungkinan untuk dicapai, hingga yang tingkat kemungkinannya mustahil. Maklum, seiring bertambahnya usia dan pengalaman, maka sedikit bertambah pula rasionalitas tentang keadaan yang dihadapi.

Sejak itu, muncul juga kekhawatiran-kekhawatiran lainnya. Ya, tentang impian-impian itu.

Pokoknya, ada sesuatu yang masih kurang pas. Tentang konsep impian yang saya pahami. Tentang takdir yang saya imani. Tentang bagaimana menyikapi ketika tidak tewujud. Tentang bagaimana niat awal ketika melangkah untuk mewujudkan impian itu. Tentang bagaimana mengatasi kekecewaan ketika pada kenyataannya, tidak bisa selalu terwujud. Tentang bagaimana untuk terus bermimpi, namun tetap bisa selalu bersyukur.

Pertanya-pertanyaan itu, paling tidak menurut saya pribadi, sedikit terjawab dari status WA Kiai dari Jombang yang pernah belajar di Australia Natioanal University. Berikut kira-kira kutipan beliau:

X: Apa impian yang ingin anda capai, Mas?

Y: Nggak ada. Saya ngga punya impian yang pengen dicapai. Ada sih beberapa keinginan tapi itupun ngga banyak dan ngga sampai impian juga. Kalau terwujud ya alhamdulillah, ngga juga biasa aja.

X: Berarti hidup anda kurang motivasi?

Y: Justru sebaliknya. Saya selamat dari ketakutan2 yang tidak perlu, termasuk takut untuk bersikap sesuai kebenaran yang saya yakini karena kuatir ada orang tidak suka lalu berbuat sesuatu yang membuat impian saya tidak terwujud.

X: Tapi sebenarnya kan impian2 itu yang jadi motivasi kita, Mas?

Y: Kalau saya ngga gitu melihatnya. Saya ngga perlu menjadikan hal yang abstrak, belum terjadi dan tidak nyata sebagai sumber motivasi saya. Lihat sekeliling kita. Semua yang sudah ada dan kita punya menurut saya itu yang mestinya jadi motivasi karena motivasi terbaik adalah rasa syukur. Lagipula, kalau impian yang jadi motivasi anda, ada kemungkinan anda bisa jadi kecewa nantinya. Kemudian ketika impian itu menguasai anda, anda akan rela untuk merendahkan diri secara berlebihan kepada manusia lain hingga kehilangan martabat demi mencapai impian2 itu.

X: Berarti sebenarnya anda ini cuma takut kecewa aja menurut saya ma.

Y: Kalau kecewa di sini maksudnya dalah gagal atau harapan yang tidak terwujud, saya ngga takut sama sekali. Dalam hidup, sukses dan gagal adalah biasa karena semua itu bukan kita yang tentukan. Kita hanya bisa tentukan sebatas prosesnya saja. Nah, kecewa yang saya takut kalau saya kemudian kehilangan jatidiri saya sebagai manusia seperti merendahkan diri secara berlebihan, membenarkan yang salahm atau menggadaikan kebenaran dan keyakinan hanya demi tercapainya impian saya. Kalau ini semua saya lakukan, saya bukan lagi seorang manusia. Dan saya ngga mau itu terjadi.

Keramainan di Asakusa Temple

Jadi seperti itulah. Rasa Syukur haruslah menjadi motivasi terbesar kita.

Sekian untuk tulisan kali ini, Salam…

‘IMPIAN’ menjadi motivasi terbesar, bisa kah? (1)

‘IMPIAN’ menjadi motivasi terbesar, bisa kah?

Bagi sebagian orang, IMPIAN menjadi salah satu harapan yang masih ada ketika misalkan saat ini ia masih berada di tahap yang biasa-biasa saja untuk menjadi lebih baik. Bagaimana tidak, banyak cerita-cerita tentang orang-orang yang mempunyai impian lalu berhasil mewujudkannya. Manusia cenderung akan melihat seseorang ketika seorang tersebut berhasil, misalnya berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, berhasil meraih impiannya atau berhasil sukses menurut standar masyarakat. Mereka yang di luar kategori itu? Tidak banyak yang mau meliriknya. Apalagi mau menceritakannya. Hal inilah yang menyebabkan cerita-cerita motivasi menjadi salah satu penyemangat bagi orang-orang yang sedang berjuang mewujudkan impiannya. Apapun itu.

Cerita orang-orang yang gagal atau orang-orang biasa? Siapa yang mau mendengar ceritanya. Kecuali, Novel Karya Andrea Hirata: “Orang-orang Biasa”. Hhee. Novelnya bagus, sila yang mau membacanya.


Menjadikan impian sebagai salah satu motivasi memang sangat berpengaruh bagi setiap orang. Tapi tentunya, pengaruhnya akan berbeda-beda tergantung orangnya dan takdir dariNya. Saya termasuk salah satu orang yang berhasil mewujudkan salah satu impian saya, misalnya. Saya cerita sedikit.

Kenangan masa kecil saya sebagian besar diisi oleh kenangan tentang hari minggu ketika menyaksikan kartun di televisi. Dari pagi hingga siang, acara kartun terus menghiasi. Ada banyak momen yang menggambarkan keindahan Negara Jepang. Itu sangat membekas sekali. Apalagi, kisah-kisah tentang kemajuan teknologi di Jepang saat itu sangat terkenal sekali. Karena mungkin saya tidak begitu senang mempelajari sejarah (yang banyak menghafal tanggal), jadi kisah tentang bagaimana jepang menjajah Indonesia tidak begitu berbekas.

Hari berganti. Usiapun terus bertambah. Tahun ke tahun. Ketika sudah memasuki usia belasan, saya yang masih sangat polos membuat tabungan bambu. Tabungan itu bertuliskan “Go to Japan”. Seingat saya, itu dibuat ketika masih di Madrasah Tsanawiyah. Mengapa sampai terpikirkan? Yaa, kurang tahu juga. Mungkin karena membuat impian itu memang gratis. Dan ketika itu, tidak terpikirkan juga bagaimana cara meraihnya. Mimpi dulu saja. Terwujud atau tidak tidak pernah terpikirkan.

Di masa itu pun, saya sering pergi ke warnet (warung internet). Ketika itu, karena masih di pondok, jadi tidak bisa boleh pegang handphone. Dan tidak punya juga. Berbeda dengan saat ini. Perkembangannya sudah jauuh sekali berubah. Mulailah saya berlajar sedikit-sedikit bahasa Jepang. Yah, belajar-belajar saja. Tidak ada motivasi apa pun. Bermimpi-bermimpi saja, tidak ada motivasi lainnya.

Suasana Kuil Asakusa, Tokyo, Jepang

Singkat cerita, akhirnya di tahun 2018, saya pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Jepang. Kesempatan itu alhamdulillah bisa menjadi motivasi dan menyadarkan diri bahwa

“Jika kita terus mencari ilmu, kita tidak akan tahu, ilmu kita itu akan membawa kita ke mana. IA selalu punya cara”

#AJ

Tulisan saya tentang mimpi ke jepang juga bisa dibaca di:

***Bersambung***

Review Sederhana Tentang Buku Guru Aini karya Andrea Hirata (1)

🍀❄🌸

Perkenalan pertama dengan buku atau novel karya Andrea Hirata terjadi belasan tahun silam ketika masih menempuh pendidikan di Pondok. Karya pertamanya yang sangat berkesan adalah Laskar Pelangi. Siapa yang tidak kenal Novel tersebut di tahun itu?!. Novel tersebut sangat laris dan menarik sehingga diterjemahkan ke belasan bahasa dunia. Berkisah tentang perjuangan penulis sendiri dan teman-temannya dalam menempuh pendidikan di desa kecil di Bangka Belitung dan kepintaran sahabatnya yang luar biasa. Ia juga berkisah tentang keikhlasan Bu Guru Muslimah dan Pak Harfan mendidik mereka dengan ikhlas.

Tetralogi karya Andrea Hirata selanjutnya berkisah tentang takdir dan perjuangan yang membawanya bisa kuliah di Luar Negeri, di Sorbonne, Prancis.


Perkenalan itulah yang sangat membekas sehingga saya mengikuti novel-novel beliau hingga yang terbaru saat ini. Termasuk buku Guru Aini. Buku ini ditulis dengan penulisan yang khas. Dengan kata-kata yang sederhana. Ia berkisah tentang idealisme seorang guru matematika muda yang terinspirasi oleh gurunya. Namanya Ibu Desi Istiqomah. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, ia melanjutkan pendidikan Guru.

Ketika selesai pendidikan guru, setiap lulusan akan diundi untuk penempatan tempat pengabdian sebagai guru. Setiap orang harap-harap cemas. Sebagian besar berharap ditempatkan di tengah-tengah kota agar akses lebih mudah. Namun memang, harus ada yang ditempatkan ditempat terpencil sehingga penentuannya menggunakan undian. Singkat cerita, Ibu Desi memilih untuk menggantikan temannya yang menangis karena terpilih untuk mengajar di lokasi terpencil.

Suka duka bahkan dihadapi Bu Guru Desi sebelum perjalanan, selama perjalanan, hingga ia berhasil sampai di tempat tujuannya.

To be continued.. 🙂

Salam,